Senin, 24 September 2012
Langganan:
Postingan (Atom)
Desa Ngadas terletak 20 kilometer dari pusat Kecamatan Poncokusumo. Untuk mencapai Desa Ngadas harus melalui beberapa desa dan hutan di kawasan taman nasional Bromo Tengger Semeru.
Desa adat tersebut berada di ketinggian 2.100 dari permukaan air laut (DPL). Letaknya persis di sisi barat gunung tertinggi di Jawa Timur, Semeru. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dan peternak. Masyarakat Ngadas masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan leluhurnya sejak tahun 1737 silam.
Ngadas mempunyai berbagai macam keunikan budaya dan adat-istiadat. Di antaranya, berbagai macam upacara adat dan kebudayaan masih utuh yang terus diagungkan. Keyakinan mereka dengan menggelar upacara adat, desa akan jauh dari bahaya.
Bagi para tamu yang datang ke desa tersebut, jangan kaget kalau langsung dipersilakan masuk ke dapur. Tamu akan langsung dipersilakan ke tempat perapian atau tungku. Sebab tempat dapur juga digunakan sebagai tempat untuk menghangatkan badan. Mengingat udara di desa sangatlah dingin. Bukan saja malam hari, pagi hingga sore hari pun udara masih tetap dingin.
Di dapur pun juga ada aturan yang harus dijaga para tamu. Di antaranya tidak boleh menaruh barang pribadi di atas tungku. Itu agar kondisi tungku tetap pada fungsinya; untuk memasak. Selain itu, ada larangan melintas di depan lubang tungku. Namun untuk yang satu ini tidak ada penjelasan yang logis. Hanya itu larangan yang memang tidak boleh dilanggar. Kalau pun dilanggar, tidak ada aturan yang mengikat bagi para pelanggar.
“Aturan di sini memang tidak boleh. Kalau orang Jawa mengatakan bisa kualat,” kata Kades Ngadas Kartono Noto Raharjo.
Sejak tahun 1737, Ngadas merupakan penghasil sayur-sayuran yang berkualitas. Jenis sayur yang dihasilkan di antaranya, kubis, selada, daun pre, bawang merah, sawi dan kentang. Semua sayuran tersebut tumbuh dengan subur.
Selain sayur mayur, para petani juga memiliki ternak. Keunikan di Ngadas, semua ternak seperti kambing, babi, sapi, atau ayam ditinggal di ladang. Mereka membuat gubuk kecil di ladangnya masing-masing untuk memelihara ternak. “Kalau sore mereka semuanya pulang ke desa. Tidak ada satu pun masyarakat yang kembali ke ladang,” urai Kartono.
Selain aturan tersebut, juga ada aturan lain. Jam berkunjung ke rumah pacar dibatasi hingga pukul 21.00. Kalau melewati batas tersebut mereka akan ditangkap para pemuda setempat dan petugas keamanan. Begitu juga sebaliknya bagi perempuan lajang. Sanksi atas pelanggaran tersebut keduanya mendapat sanksi menyapu seluruh desa selama satu hari. Bagi perempuan memegang cikrak dan laki-laki membawa sapu lidi menyapu sepanjang jalan desa.
Hukuman tersebut diberikan dalam upaya memberi efek jera terhadap pelanggar. Mengingat dengan cara tersebut desa dapat mencegah terjadinya zina di kalangan anak muda.
Bukan itu saja, masih banyak aturan yang dibuat masyarakat untuk kepentingan bersama. Di antaranya bagi pria yang sudah beristri dan ketahuan selingkuh, keduanya masing-masing akan didenda dengan 50 sak semen. Begitu juga bagi suami yang menghamili perempuan di luar pernikahan.
Setelah dinikahkan mereka harus bercerai. Karena warga di tempat tersebut menganut monogami. Tidak ada yang memiliki istri lebih dari satu orang. Kalau dilanggar, mereka harus keluar dari desa. Itu pun juga mendapat denda 100 sak semen yang dibayar ke desa.
Di samping aturan adat, juga ada berbagai ritual desa yang disebut adat Karo. Yaitu pujan Kliman, pujan Kwolu, pujan Kesanga, dan pujan Kasodo. Khusus Kasodo, masyarakat mengadakan kegiatannya di kawasan Bromo. Letaknya sekitar 12 kilometer dari Desa Ngadas. Sedangkan ritual lainya dilakukan di dukun setempat. Atau di Makam Mbah Sadek yang wafat pada tahun 1831.
Karena sekarang ini Ngadas menjadi bidikan wisatawan, banyak warga yang menyiapkan rumah untuk disewakan. Setiap satu rumah disiapkan satu kamar. Dan wisatawan harus koordinasi terlebih dahulu dengan para perangkat desa jika akan datang. Tujuannya agar pihak desa segera mengetahui dan tidak menjadi permasalahan di dalam desa.
Di Ngadas sendiri, juga sering digunakan untuk transit para pendaki Semeru. Mereka beristirahat di kampung untuk menikmati pemandangan desa. Selain itu juga ingin mengenal masyarakat yang setiap hari selalu membawa kain sarung. Entah di pasar, ke kebun atau main ke tetangga. Mereka selalu membawa kain sarung atau jarik.
Kain yang dibawanya tersebut digunakan untuk mengusir hawa dingin yang selalu menyelimuti tubuh setiap hari. Terutama pada musim kemarau. Udara di daerah tersebut sangat dingin. Dibanding pada musim penghujan. Hanya sarung yang menjadi senjata apuh penduduk sekitar.tradisi Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting